Berlin – Di tengah dorongan global untuk beralih ke mobil listrik (EV), sebuah teknologi bahan bakar alternatif sedang mencuatkan diri: Bensin Sintetis (e-Fuels). e-Fuels diproduksi dengan menggabungkan hidrogen yang dihasilkan dari elektrolisis air (menggunakan energi terbarukan) dengan karbon dioksida (CO2) yang ditangkap dari udara. Hasilnya adalah bahan bakar yang secara kimiawi mirip dengan bensin konvensional, tetapi diklaim netral karbon (carbon neutral) karena CO2 yang dilepaskan saat pembakaran sama dengan CO2 yang ditangkap saat produksi.
Para pendukung e-Fuels, yang dipelopori oleh perusahaan seperti Porsche dan beberapa produsen mesin performa tinggi, melihatnya sebagai penyelamat potensial bagi mobil bermesin pembakaran internal (ICE) yang sudah ada, terutama mobil klasik dan motorsport. Teknologi ini memungkinkan mobil-mobil ini terus beroperasi tanpa jejak karbon baru, dan dapat menggunakan infrastruktur distribusi bensin yang sudah ada.
Namun, kritikus berpendapat bahwa e-Fuels adalah gangguan yang mahal. Proses produksinya sangat boros energi—jauh lebih efisien menggunakan listrik bersih untuk mengisi baterai EV secara langsung. Uni Eropa telah memberikan pengecualian terbatas untuk e-Fuels setelah tahun 2035, tetapi perdebatan tetap panas. Apakah e-Fuels akan menjadi solusi khusus untuk ceruk pasar atau teknologi utama untuk dekarbonisasi total masih harus dilihat.